Sahabat,
berita duka menyelimuti pelaksanaan haji tahun 2015 ini. Tepat hari jumat
(11/9) ba'da sholat asar, Allah memberi tadzkiroh kepada kita, ummatnya tentang
kematian. Musibah besar pasca tragedi mina yang menyebabkan banyak jamaah haji
yang meninggal kini 'terulang' lagi. Tercatat 100 lebih Orang menjadi korban
atas jatuhnya sebuah crane pembangunan yang tegak berdiri di samping area
Thowaf. Akibat hujan dan badai yang begitu besar akhirnya menyebabkan crane
tersebut runtuh dan menimpa jamaah yang Ada
dibawahnya. Innalillahi wa innailaihi roji'un. InshaAllah fil jannah.
Bagaimana
kita memandang permasalahan tersebut dan sikap yang di ambil? Ada persitiwa penting yang patut di catat dan
digarisbawahi atas tragedi tersebut yakni tentang 'kematian'.
Tatkala
tragedi tersebut, salah satu jamaah Kota Bogor yang tergabung dlm gelombang 2,
kloter 48 menjadi saksi hidup. Sebut saja Pak Heru namanya. Beliau mendapat
hikmah hidup yang begitu luar biasa. Tentang hidup, tentang kematian dan yang
lebih penting lagi tentang apa yang dipersiapkan setelah kematian pasca tragedi
tersebut.
Hal-hal di atas berkecamuk di dalam pikiran dan benaknya,
sampai-sampai dalam perjalanan pulang balik dari masjidil harom ke pondokan
beliau tersasar kemana-mana. Baru ketika tengah malam menjelang, Pak Heru
sampai pondokan seorang diri. Beliau
berujar; "Selama ini saya tahu bahwa mati itu Akan menghampiri kita kapan
pun. Namun selama ini, saya hanya memahami sebatas itu saja. Namun, setelah
tragedi crane ka'bah tersebut saya seolah-olah ditunjukkan oleh Allah bahwa
bukan hanya kematian itu yang akan terjadi kapan saja namun lebih dari itu
bahwa kematian itu hanya milik Allah. Kapan pun dan pada saat apapun Allah
berkehendak maka Allah Akan mengambilnya. Tak peduli kita dalam kondisi senang,
sedih, beribadah, bermaksiyat atau yang lain. Dan yang lebih pasti lagi adalah
tidak ada seorangpun yang mampu menahan atau menghalangi datangnya
kematian."
Masih menurut Pak Heru, pada awalnya saya berpikir bahwa 'mana
mungkin' di depan ka'bah Akan terjadi tragedi yang merenggut nyawa. Bukankah
itu rumah Allah. Maka Allah pasti Akan 'menjaganya'? Namun ternyata, Allah
menunjukkan hal lain. Mati itu bisa kapan saja, dimana saja dan pada saat
apapun. Subhanalloh. Baju
koko dan celana putih bagian belakang Pak Heru penuh dengan bercak darah dari
jamaah yg jadi korban. Bahkan Ada serpihan kecil 'daging manusia' menempel di
celana putihnya.
Sungguh kematian sahabat-sahabat jama'ah haji yang mulia,
mengingatkan bahwa waktu SANGAT BERHARGA. Ketika seorang manusia melalaikan
nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang
kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian
mendekat. Allah SWT berfirman: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab
segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling
(daripadanya).” (QS. Al-Anbiya :1)
Jama'ah yang menjadi korban tragedi crane, hidupnya
berakhir dengan kegembiraan. InshaAllah mereka mati syahid. Meninggal dalam posisi
sedang menjadi tamu Allah. Sedangkan kita? Belum ada jaminan untuk meninggal
dengan akhir 'bahagia'.
Sudahkah
kita telah melaksanakan amal sholih yang banyak selama hidup kita? Ataukah
justru sebaliknya, terlena dan melakukan hal-hal sia-sia lagi maksiyat. Padahal
Allah akan 'mewafatkan' seseorang sesuai dengan kebiasaan hidupnya. Jika dalam
kehidupannya lebih banyak melakukan kebaikan maka inshaAllah akan khusnul
khotimah. Demikian juga sebaliknya.
Banyak yang 'menyesal' kemudian setelah kematian menjemput.
Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan Mata, lisan
mengadu, “Ya ALLAH, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk
bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Sebagaimana firman Allah ‘Ya Tuhan kami,
beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan
mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul….” (QS. Ibrahim :44).
Dengan tegas Allah menjawab ; kematian tidak akan Ada yang bisa memajukan dan mengundurkan
walau sesaat.
Tragedi Makkah mengingatkan bahwa KITA TAK MEMILIKI
APA-APA. Tatkala seseorang meninggal dunia maka tak ada satu benda pun yang
ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin.
Penguasa atau rakyat jelata. Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan
kain kafan. Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir
dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih
layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan.
Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita
datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergipun bersama sesuatu yang tak
berharga. Ternyata, semua hanya 'titipan'. Dan pemilik sebenarnya hanya ALLAH
SWT. Masihkah kita 'tidak rela' ketika 'barang titipan' diambil lagi oleh yang
punya? Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita
bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba ALLAH SWT.
Tragedi Makkah menyadarkan bahwa HIDUP BEGITU BERHARGA.
Sisa hidup yang kita punya harus benar-benar dimanfaatkan untuk melakukan amal
sholih sebanyak-banyaknya. Karena kita tidak tahu kapan kita Akan meninggal.
Padahal kita yakin bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti adanya.
Imam Ghazali menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77, “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…”
dengan menyebut, “Ad-Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat
akhirat). Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya
untuk mengingat sesuatu itu. Artinya, semua aktivitas kerja akan diorientasikan
untuk menabung 'bekal' akhirat. Bukan semata mengejar duniawi.
Allah berfirman: "Katakanlah, 'Sesungguhnya kematian
yang kamu lari daripada-Nya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemuimu,
kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".
(QS. Al-Jumu'ah: 8).
Allah
juga berfirman; "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh." (QS. An-Nisa`:
78).
Nabi
bersabda; "Telah datang seorang laki-laki kepada Nabi, dia berkata, 'Ya
Rasu-lullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?' Rasulullah menjawab,
'Kamu bersedekah dalam keadaan sehat, mencintai harta, takut miskin, dan
berharap kaya, jangan menunda-nunda sehingga ketika nyawa sampai di
kerongkongan kamu berkata, 'Untuk fulan ini, untuk fulan ini,' padahal ia telah
menjadi miliknya'." (Muttafaq alaihi. Mukhtashar Shahih al-Bukhari, no.
680 dan Mukhtashar Shahih Muslim, no. 538).
Jika
demikian adanya, masihkah kita akan menyia-nyiakan hidup? Bukankah kematian
akan mencari dan mengejar kita hingga kolong-kolong persembunyian sekalipun?
Jika demikian, bukan kematian yang menjadi fokus, tapi bagaimana mempersiapkan
kematian yang 'indah' itulah hal yang perlu dipersiapkan dengan baik.
Agar
penyesalan tidak terjadi pada kita, maka yang mesti kita lakukan adalah
memanfaatkan detik-detik umur dengan mengisinya dengan kebaikan, karena itulah
satu-satunya bekal bagi kita di perjalanan panjang, di mana awalnya adalah
kematian. Di sinilah letak pentingnya seorang Muslim selalu mengingat kematian.
Ya, dengan mengingat kematian, mendorong seorang Muslim untuk berbekal, karena
dia menyadari dirinya akan mati. Karena hikmah inilah, maka Rasulullah mengajak
kita memperbanyak mengingat kematian.
Dari
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata, Rasulullah Sallallahu ‘Alahi
Wasallam bersabda : "Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yakni
kematian." (HR. at-Tirmidzi, no. 2308 dan Ibnu Majah, no. 4258,
dishahihkan oleh Syu'aib al-Arna`uth dalam Tahqiq Riyadh ash-Shalihin, hadits
no. 579).
Memperbanyak
mengingat mati berarti memperbanyak amal kebaikan. Orang yang tidak beramal
baik atau dia berbuat buruk berarti tidak ingat dirinya akan mati. Imam
ad-Daqqaq berkata, "Barangsiapa memperbanyak mengingat mati, dia
dikaruniai tiga perkara: Menyegerakan taubat, hati yang qana'ah, dan semangat
beribadah." (QS. At-Tadzkirah, al-Qurthubi 1/23).
Dengan memaknai KEMATIAN, berarti kita sedang menghargai
arti kehidupan. Seorang hamba yg banyak mengingat mati maka ALLAH SWT akan
menghidupkan hatinya dan diringankan baginya akan sakitnya KEMATIAN.
Demikianlah
pelajaran terbaik dari tragedi makkah. Semoga Allah menjadikan kita
manusia-manusia yang cerdas. Orang yang senantiasa mengingat kematian.
Menjadikan dunia sebagai ladang meraih pahala untuk bekal akhirat.
Hidup
adalah pilihan. Mengakhiri kematian dengan kebaikan adalah pilihan. Dengan
su'ul khotimah juga pilihan. Selanjutnya, kita memilih dan melakukan perbuatan
harian seperti apa?
Smg
kita dapat mengisi hidup kita dg banyak beramal shaleh shg kita mghadap Allah
dalam keadaan khusnul khotimah....aamiin .
disarikan dari @Gus
Uwik #Makkah (12/9/2015) salah seorang calon jamaah haji
0 komentar:
Posting Komentar